V. HASIL
PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN
Ikan
merupakan salah satu bahan pangan yang banyak dikonsumsi karena harganya yang
murah dan kemudahannya untuk didapat. Di Negara besar seperti Taiwan dan
Jepang, ikan dipercaya memberikan efek awet muda.
Tabel
1. Komposisi Ikan Segar per 100 Gram Bahan
Kandungan Air
|
76,00 %
|
Protein
|
17,00 %
|
Lemak
|
4,50 %
|
Mineral dan
Vitamin
|
2,52- 4,50 %
|
Di
Indonesia, ikan merupakan salah satu komoditi ekspor yang merupakan sumber
devisa bagi negara. Namun, ikan juga tergolong kedalam bahan pangan mudah rusak
atau penurunan mutu yang sangat cepat apabila tidak ditangani dengan baik.
Kerusakan atau kebusukan pada ikan dapat disebabkan oleh tiga system yang
bekerja pada ikan tersebut yaitu enzim dari ikan itu sendiri, system enzim dari
mikrobiologi serta ketengikan. Hal tersebut disebabkan adanya hasil penguraian
atau dekomposisi ( terutama ammonia) senyawa belerang dan bahan kimia hasil
penguraian asam- asam amino yang disebut dengan amina. Oleh karenanya digunakan
beberapa perlakuan pengawetan seperti penggaraman, pengeringan, pengasapan
serta penyimpanan pada suhu rendah.
Terjadi
tiga tahapan setelah ikan mengalami kematian yaitu:
1. Pre-
rigor mortis. Pre- rigor mortis yaitu suatu tahapan yang berlangsung saat ikan
mulai mengalami kematian hingga ikan tersebut sudah tidak berkontraksi ( mati).
Pada tahapan ini, tekstur ikan menjadi lembut namun sedikit kenyal. Pada
tahapan ini, terjadi penurunan ATP dan keratin fosfat. Pada tahap ini pula,
glikogen diubah menjadi asam laktat yang disebabkan ketidakberadaan oksigen.
2. Rigor
mortis. Fase rigor mortis adalah fase perubahan daging ikan menjadi kaku yang
mana pada umumnya terjadi 1-7 jam setelah ikan mengalami kematian atau 3- 120
jam setelah ikan mengalami proses pembekuan.
3. Pasca
rigor. Fase pasca rigor adalah fase saat terjadi hidrolisis keratin dan fosfat
sehingga ATP dirubah menjadi ADP dan fosfat organic. ADP ikan akan terurai
menjadi ribose, fosfat ammonia dan hiposantin sehingga pH naik menjadi 6,2-
6,6. Hiposanktin yang berlebihan dapat mengakibatkan kerusakan pada ikan.
Gambar 1. Skema Tahapan Perubahan Ikan Setelah
Kematian
( Sumber : Dilek, 2009 )
Untuk
menguji kebenaran data tersebut, maka dilakukan praktikum mengenai perubahan
fisik, kimia dan fungsional pasca mortem daging yang meliputi pengukuran pH,
pengukuran suhu, pengukuran holding capacity dengan metode sentrifus dan
pengamatan kekerasan daging secara subyektif. Pada praktikum kali ini, sampel
yang digunakan adalah ikan. Alasan digunakannya ikan adalah agar pengujian
dilakukan saat sampel masih berada dalam keadaan segar.
A.
Pengukuran
pH dan Suhu
Kondisi
pH pada daging akan berpengaruh pada struktur, pengembangan ( swelling ) dan
daya larut protein. Kondisi protein tersebut akan berpengaruh terhadap daya
ikat ( Water Holding Capacity ) dan juiciness ( kemampuan untuk menghasilkan
cairan ), daya emulsi, kemampuan membentuk gel, kekerasan, warna dan umur
simpan.
Prosedur
pengukuran pH yang harus dilakukan adalah memasukkan sebanyak 5 gram sampel
kedalam beaker glass kemudian ditambahkan dengan 5 ml air destilata lalu campur
hingga larut. Baca pH dengan menggunakan pH meter pada menit ke- 15, 30, 45 dan
menit ke- 60 selama 1 jam. Sedangkan prosedur pengukuran suhu, hal yang harus
dilakukan adalah mengukur suhu sampel dengan menggunakan thermometer pada menit
ke- 15, 30, 45 dan 60. Setelah melakukan prosedur diatas, didapatkan hasil
sebagai berikut:
Table
2. Hasil Praktikum Pengukuran pH dan Suhu
t (menit)
|
pH
|
Suhu
|
15
|
6,83
|
23°C
|
30
|
6,61
|
23°C
|
45
|
6,60
|
23°C
|
60
|
6,78
|
22°C
|
Berdasarkan
hasil praktikum diatas,, didapatkan bahwa pH pada sampel menurun namun tidak
konstan. Pada praktikum ini, sampel sudah memasuki fase rigor mortis. Pada fase
ini, protein miofibrilar berkontraksi membentuk aktomiosin. Jarak antara
sarkomer memendek, jumlah molekul bermuatan menurun, jarak antara protein
mengecil sehingga daya ikat air terbatas. Menurut literature, fase rigor mortis
pada umumnya memiliki pH lebih dari 5,8 dan pH akhir yang baik adalah 5,6.
Daging dengan pH akhir tinggi akan berwarna gelap dengan daya ikat air baik.
Namun, pH yang tinggi akan menyebabkan daging sangat mudah rusak oleh mikroba.
Pada
umumnya, ikan yang telah mati namun belum diberi perlakuan pengawetan akan
mengalami penurunan pH. Namun pada menit ke 60, didapatkan pH lebih meningkat
dibandingkan menit sebelumnya. Pada menit ke- 60 pH yang diperoleh adalah 6,78
sedangkan pada menit ke- 45 pH yang diperoleh adalah 6,60. Meningkatnya pH pada
menit ke 60 berkaitan dengan menurunnya suhu pada menit yang sama. Menurut literature, suhu tinggi dapat mempercepat
penurunan pH daging pasca mortem dan menurunkan kapasitas mengikat air karena
meningkatnya denaturasi protein daging dan meningkatnya perpindahan air ke
ruang ekstraseluler ( Lawrie, 1996 ). Sehingga dapat dikaitkan bahwa menurunnya
suhu ikan dapat menyebabkan peningkatan pada pH daging ikan. Selain suhu,
faktor lain yang mempengaruhi penurunan pH adalah interaksi daging ikan dengan
logam serta jumlah praktikan yang berada dalam laboratorium.
pH
dan suhu daging ikan dapat mempengaruhi sifat fisik dari ikan tersebut.
Perubahan pH dapat menyebabkan sebagian protein terdenaturasi dan perubahan
muatan protein. Perubahan muatan protein akan mengubah jarak antara serat-
serat daging sehingga mempengaruhi kemampuannya dalam menyerap dan memantulkan
cahaya dimana hal tersebut akan mempengaruhi penampakan ( warna ) daging secara
visual. pH yang semakin menurun menyebabkan warna daging memucat. Warna pucat
tersebut disebabkan oleh karena banyaknya air bebas yang berada diluar serabut
daging. Kandungan air ekstraseluler yang tinggi tersebut dapat menyebabkan
kemampuannya untuk memantulkan cahaya akan meningkat dan penyerapan cahaya
menurun sehingga intensitas warna akan menurun.
B.
Pengukuran
Water Holding Capacity
Water
Holding Capacity ( WHC ) atau daya ikat air adalah kemampuan daging untuk
mempertahankan kandungan air bebasanya pada saat diberikan tekanan dari luar
seperti pemanasan, penggilingan atau pengepresan. WHC mempengaruhi beberapa sifat fisik dari
daging yaitu warna, tekstur, kekenyalan, juiceness, dan kekerasannya. Kapasitas
mengikat air oleh jaringan otot akan berdampak pada pengekerutan daging ikan
selama penyimpanan. ( Forrest, 1975). Daging ikan dengan kapasitas mengikat air
yang rendah dapat menyebabkan banyaknya cairan yang hilang, sehingga selama
pemasakan akan terjadi kehilangan berat yang besar pula. Kehilangan berat
merupakan salah satu hal yang akan merugikan konsumen serta produsen.
Pada
umumnya, water holding capacity akan dipengaruhi oleh pH. Penurunan pH otot
daging yang semakin cepat akan mengakibatkan kemampuan daging untuk mengikat
air semakin rendah. Hal tersebut disebabkan oleh meningkatnya kontraksi
aktomiosin yang terbentuk sehingga cairan dalam daging akan keluar. Apabila
melihat hubungan antara suhu dengan pH pada praktikum sebelumnya, didapatkan
pernyataan bahwa suhu yang tinggi dapat mempercepat penurunan pH otot daging
pasca mortem dan menurunkan kapasitas mengikat air ( water holding capacity )
karena meningkatnya denaturasi protein otot dan meningkatnya perpindahan air ke
ruang ekstraseluler ( Lawrie, 1996).
Untuk
membuktikan teori tersebut, dilakukan praktikum mengenai water holding capacity
dengan metode sentrifus. Langkah pertama yang harus dilakukan adalah memasukkan
10 gram sampel kedalam tabung sentrifus. Kemudian ditambahkan 10 ml akuades,
kocok lalu diinkubasi selama 24 jam pada suhu 00 C. sentrifus sampel selama 20
menit dengan kecepatan 300 rpm. Saring kemudian ukur volume cairan yang
dihasilkan. Ukur WHC pada menit ke- 30 dan 60 dengan menggunakan persamaan
sebagai berikut:
WHC =
Setelah
melakukan prosedur tersebut, didapatkan hasil sebagai berikut:
Table
3. Hasil Praktikum Pengukuran Water Holding Capacity
t (menit)
|
V awal (ml)
|
V akhir (ml)
|
W ikan (gram)
|
WHC (%)
|
30
|
10 ml
|
12 ml
|
10,0073
|
19,985
|
60
|
10 ml
|
12 ml
|
10,0101
|
19,979
|
Menurut
literature, semakin lama suatu daging disimpan pada suhu ruang maka
kemampuannya dalam mengikat air juga akan menurun. Hal tersebut disebabkan oleh
pengaruh penurunan pH otot dari jumlah asam laktat yang terakumulai dari proses
glikolisis. Apabila membandingkan literature dengan hasil praktikum didapatkan
kesesuaian yang tepat. Pada data diatas, disimpulkan bahwa semakin lama daging
disimpan maka kemampuannya dalam mengikat air akan semakin menurun. Hal
tersebut dapat dilihat pada persentase WHC yang semakin merendah. Dapat
disimpulkan pula, sampel daging ikan mengalami peningkatan suhu pada menit
ke-60.
C.
Pengujian
Karakteristik Daging Ikan
Karakteristik
pada ikan sangat berpengaruh terhadap kulitas, umur simpan dan harga jualnya.
Ikan yang berkualitas adalah ikan yang masih berada dalam keadaan segar atau
baru dipanen kurang dari 24 jam. Terdapat beberapa karakteristik yang berbeda
antara ikan segar dengan ikan busuk. Ikan yang masih segar akan memberikan
cirri- ciri sebagai berikut:
1. Daging
kenyal.
2. Mata
jernih dan menonjol.
3. Sisik
kuat dan mengkilat.
4. Sirip
kuat.
5. Warna
keseluruhan ( termasuk kulit ) cemerlang.
6. Insang
berwarna merah.
7. Dinding
perut kuat.
8. Bau
ikan segar.
Sedangkan
ikan yang sudah busuk akan memberikan ciri- ciri sebagai berikut:
1. Mata
suram dan tenggelam.
2. Sisik
suram dan mudah dilepas.
3. Warna
kulit suram dengan lendir tebal.
4. Insang
berwarna kelabu dengan lendir tebal.
5. Dinding
perut lembek.
6. Warna
keseluruhan suram dan berbau busuk.
Untuk
mengetahui lamanya karakteristik kesegaran ikan terhadap waktu setelah kematian
dilakukan praktikum pengujian karakteristik pada ikan. Indicator yang akan
diuji adalah kekerasan, lendir, aroma dan bola matanya. Berikut adalah hasil
praktikum pengujian karakteristik ikan terhadap berbagai waktu:
Table
4. Hasil Praktikum Pengujian Karakteristik Ikan
t (menit)
|
Kekerasan
|
Lendir
|
Aroma
|
Bola mata
|
0
|
+
|
-
|
Fresh ikan
|
Bening
|
30
|
++
|
+
|
Amis ++
|
Bening -
|
60
|
+++
|
+++
|
Amis +++
|
Bening +
|
Menurut
literature, semakin lama daging ikan disimpan maka teksturnya akan semakin
melunak. Hal tersebut disebabkan oleh sarkomer daging ikan yang memanjang.
Apabila melihat data diatas, didapatkan bahwa pada menit ke-60, kekerasan ikan
semakin meningkat. Hal tesebut mungkin disebabkan oleh ikan yang mulai memasuki
fase rigor mortis. Fase rigor mortis akan berlangsung 1- 7 jam setelah ikan
mengalami kematian. Fase rigor mortis ditandai dengan mengejangnya tubuh ikan
sehingga kekerasannya pun semakin meningkat.
Menurut
data diatas, semakin lama daging ikan disimpan maka lendir yang dihasilkan pun
akan semakin banyak. Hal tersebut sangat berkaitan dengan water holding
capacity dan penurunan suhu serta pH. Pada menit ke-60, suhu tubuh ikan
kemungkinan mengalami penurunan yang akan diikuti oleh peningkatan pH. Peningkatan
pH otot daging yang semakin cepat akan mengakibatkan kemampuan daging untuk
mengikat air semakin tinggi sehingga kapasitas mengikat air ( water holding
capacity ) semakin tinggi karena menurunnya denaturasi protein otot dan menurunnya
perpindahan air ke ruang ekstraseluler ( Lawrie, 1996) dan menimbulkan cairan
mengental (juiceness ).
Semakin
lama daging ikan disimpan, maka aromanya pun akan semakin amis. Apabila tidak
dilakukan proses pengawetan, maka aroamnya akan menjadi tidak sedap. Hal
tersebut disebabkan adanya hasil penguraian atau dekomposisi ( terutama
ammonia) senyawa belerang dan bahan kimia hasil penguraian asam- asam amino
yang disebut dengan amina.
Menurut
data diatas, didapatkan bahwa kebeningan mata ikan mengalami peningkatan pada
menit ke- 60. Padahal seharunya mata ikan mengalami penurunan kebeningan pada
mata. Hal tersebut tidak sesuai dengan pernyataan dari literature. Hal tersebut
kemungkinan merupakan kesalahan praktikan dalam menentukan taraf kebeningan
mata pada ikan.
VI. KESIMPULAN
Berdasarkan
hasil praktikum yang sudah dilakukan maka dapat disimpulkan bahwa penurunan
suhu akan berkaitan dengan peningkatan pH dan peningkatan kemampuan mengikat
air. Semakin lama waktu penyimpanan daging ikan pada suhu ruang, maka suhu
daging akan mengalami penurunan suhu. Suhu yang menurun, akan berdampak pada
peningkatan pH. Peningkatan pH dapat menyebabkan kemampuan mengikat air semakin
meningkat lalu membentuk lendir yang beraroma tidak sedap.
DAFTAR
PUSTAKA
Adawyah, R.
2007. Pengolahan dan Pengawetan Ikan. Bumi Aksara: Jakarta.
Dilek,B. 2009.
Biochemical Changes in Meat and Fish. Available at: http://web.itu.edu.tr (diakses pada tanggal 18 September 2011
)
Moeljanto. 1982.
Penanganan Ikan Segar. Swadaya: Jakarta
Murachman. 2006.
Fish Handling. Universitas Brawijaya: Malang.
Murdjiharto. Tj.
2005. Biokimia Nutrisi Protein Ikan. Universitas Brawijaya. Malang.
Sasmito, Bambang Budi. 2005. Dasar-
dasar Pengawtean Bahan Pangan. Universitas Brawijaya: Malang.
No comments:
Post a Comment