V.1
Hasil Pengamatan
Sampel
|
Ws
|
Wc
|
(
Wc + Ws )1
|
Abon
|
1,0042 gram
|
33,4123 gram
|
33,4492 gram
|
Salak
|
1,0058 gram
|
20,8089 gram
|
20,8163 gram
|
Kismis
|
1,0429 gram
|
22,4953 gram
|
22,5121 gram
|
%
Kadar Abu =
|
Sampel
|
%
Kadar Abu
|
Abon
|
3,67 %
|
Salak
|
0,735 %
|
Kismis
|
16,1 %
|
a. Abon
% Kadar Abu =
x
100 % = 3,67 %
b.
Salak
% Kadar Abu =
x
100 % = 0,735 %
c.
Kismis
% Kadar Abu =
x
100 % = 16,1 %
V.2 Pembahasan
Abu
adalah zat anorganik sisa pembakaran dari senyawa organic ( Sudarmadji, 1989).
Dalam bahan pangan, selain abu terdapat pula komponen lain yaitu mineral. Kadar
abu dalam bahan pangan sangat mempengaruhi sifat dari bahan pangan. Kadar abu
merupakan ukuran dari jumlah total mineral yang terdapat dalam bahan pangan.
Hal ini menunjukkan bahwa penentuan kadar air sangat mempengaruhi penentuan
kadar mineral. Pengertian dari kadar mineral adalah ukuran jumlah komponen
anorganik tertentu yang terdapat dalam bahan pangan seperti Ca, Na, K dan Cl.
Kadar
mineral dalam bahan pangan mempengaruhi sifat fisik bahan pangan serta
keberadaannya dalam jumlah tertentu mampu menghambat pertumbuhan mikroorganisme
jenis tertentu. Dalam bahan pangan, mineral terdiri dari 3 bentuk yaitu:
1. Garam
organic. Ex: garam asam malat, oksalat, asetat, pektat.
2. Garam
anorganik. Ex: garam fosfat, karbonat, sulfat dan nitrit.
3. Senyawa
kompleks yang bersifat organis.
Metode
penentuan kadar abu disebut juga dengan metode pengabuan. Metode pengabuan
terdiri dari 3 macam yaitu:
1. Pengabuan
kering ( prinsip gravimetric).
2. Pengabuan
basah.
3. Pengabuan
plasma suhu rendah.
Metode
pengabuan dipilih berdasarkan pada:
1. Tujuan
analisis
2. Jenis
makanan yang dianalisis.
3. Peralatan
yang tersedia.
Pada
praktikum kali ini, akan dilakukan penentuan kadar abu dengan metode pengabuan
kering. Sedangkan sampe yang akan digunakan adalah kismis, abon dan salak.
Metode pengabuan kering adalah metode pengabuan dengan menggunakan tanur ( 500 0C
– 600 0C) selama 24 jam. Pada metode pengabuan kering, air dan bahan
volatile lain diuapkan kemudian zat- zat organic dibakar hingga menghasilkan CO2,
H2O dan N2.
Kelemahan
menggunakan metode pengabuan kering diantaranya adalah:
1. Memerlukan
waktu lama.
2. Biaya
listrik yang lebih tinggi untuk memanaskan tanur.
3. Kehilangan
mineral yang dapat menguap pada suhu tinggi.
Sedangkan
keuntungan dari metode pengabuan kering adalah sebagai berikut:
1. Aman.
2. Hanya
membutuhkan reagen dalam jumlah sedikit.
3. Beberapa
sampel dapat dianalisis secara bersamaan.
4. Tidak
memerlukan tenaga kerja yang intensif.
5. Abu
yang dihasilkan dapat dianalisis untuk penentuan kadar mineral.
Langkah
pertama yang harus dilakukan adalah menimbang cawan porselen terlebih dahulu.
Kemudian cawan porselen dipanaskan selama 30 menit lalu dilanjutkan dengan
pendinginan pada desikator selama 30 menit. Setelah cawan didinginkan, timbang
kembali cawan lalu ditambahkan dengan sampel sebanyak 1 gram. Setelah
ditimbang, cawan yang sudah diisi dengan sampel dipijarkan didalam tanur pada
suhu 600 0C selama 2 ½ jam hingga sampelnya berwarna putih. Setelah
dipijarkan, sampel dan cawan didinginkan didalam desikator selama 30 menit lalu
ditimbang kembali.
Sampel
|
Ws
|
Wc
|
( Wc + Ws )1
|
Abon
|
1,0042 gram
|
33,4123 gram
|
33,4492 gram
|
Salak
|
1,0058 gram
|
20,8089 gram
|
20,8163 gram
|
Kismis
|
1,0429 gram
|
22,4953 gram
|
22,5121 gram
|
Kadar
abu dapat ditentukan dengan menggunakan persamaan sebagai berikut:
% Kadar Abu =
Dengan
menggunakan persamaan tersebut, maka dapat didapatkan kadar abunya sebagai
berikut:
Sampel
|
% Kadar Abu
|
Abon
|
3,67 %
|
Salak
|
0,735 %
|
Kismis
|
16,1 %
|
Berdasarkan
data diatas, didapatkan bahwa kadar abu pada salak paling rendah apabila
dibandingkan dengan kedua sampel yang lain. Pada umumnya kadar abu pada bahan
pangan tidak melebihi dari 5 %. Kadar abu yang melebihi dari 5 % biasanya
terdapat pada bahan pangan olahan. Kemungkinan penyebab rendahnya kadar abu
pada salak adalah bahan salak mengandung kadar air yang lebih banyak
dibandingkan dengan kismis maupun abon. Sehingga dibutuhkan waktu yang lebih
lama untuk menguapkan air dan bahan volatile sepenuhnya.
Apabila
proses dilanjutkan ketahap penentuan kadar mineral, kemungkinan kadar mineral
akan berkurang. Hal ini disebabkan karena menguapnya beberapa mineral pada suhu
tinggi seperti Cu, Fe, Pb, Hg, Ni dan Zn.
VI. Kesimpulan
Berdasarkan
praktikum yang sudah dilakukan, maka
dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut:
1. Metode
pengabuan kering melibatkan pemijaran pada tanur. Suhu tanur yang digunakan
adalah 600 0C.
2. Penentuan
kadar abu juga dapat digunakan dalam penentuan kadar mineral.
3. Abu
adalah zat anorganik sisa pembakaran dari senyawa organic.
4. Salah
satu kelemahan metode pengabuan kering yang mempengaruhi penentuan kadar
mineral adalah hilangnya beberapa mineral akibat suhu tinggi.
5. Dari
sampel kismis, salak dan abon didapatkan bahwa kadar abu salak paling kecil.
Hal ini dikarenakan kandungan air salak yang lebih banyak sehingga waktu yang
dibutuhkan untuk menguapkannya lebih lama.
6. Kadar
abu pada salak adalah 0,735 %, kismis 16,1 % dan abon 3,67 %.
DAFTAR
PUSTAKA
Apriyantono,
Anton., dkk 1988. Analisis Pangan. PAU Pangan dan Gizi IPB,
Bogor.
Herdas.
2008.Pengujian Kadar Abu. Available at http ://bloginvitro.blogspot.
com/2011/02/pengujian-kadar-abu.html.
(diakses tanggal 27 Februari 2011)
Rizal
Syarief dan Hariyadi Halid. 1992. Teknologi
Penyimpanan Pangan. Penerbit Arcan, Jakarta.
Sudarmadji,S. 1989. Analisa Bahan
Makanan dan Pertanian. PAU Pangan dan Gizi UGM, Yogyakarta.
Winarno,
F.G. 1979. Kimia pangan dan gizi.
Penerbit PT. Gramedia, Jakarta.
No comments:
Post a Comment