Pages


11.21.2011

laporan praktikum penentuan kadar abu

V.1 Hasil Pengamatan
Sampel
Ws
Wc
( Wc + Ws )1
Abon
1,0042 gram
33,4123 gram
33,4492 gram
Salak
1,0058 gram
20,8089 gram
20,8163 gram
Kismis
1,0429 gram
22,4953 gram
22,5121 gram
% Kadar Abu =


           

                                                                                  

Sampel
% Kadar Abu
Abon
3,67 %
Salak
0,735 %
Kismis
16,1 %

a.       Abon
% Kadar Abu =  x 100 % = 3,67 %
b.      Salak
% Kadar Abu =  x 100 % = 0,735 %
c.       Kismis
% Kadar Abu =  x 100 % = 16,1 %




V.2 Pembahasan
Abu adalah zat anorganik sisa pembakaran dari senyawa organic ( Sudarmadji, 1989). Dalam bahan pangan, selain abu terdapat pula komponen lain yaitu mineral. Kadar abu dalam bahan pangan sangat mempengaruhi sifat dari bahan pangan. Kadar abu merupakan ukuran dari jumlah total mineral yang terdapat dalam bahan pangan. Hal ini menunjukkan bahwa penentuan kadar air sangat mempengaruhi penentuan kadar mineral. Pengertian dari kadar mineral adalah ukuran jumlah komponen anorganik tertentu yang terdapat dalam bahan pangan seperti Ca, Na, K dan Cl.
Kadar mineral dalam bahan pangan mempengaruhi sifat fisik bahan pangan serta keberadaannya dalam jumlah tertentu mampu menghambat pertumbuhan mikroorganisme jenis tertentu. Dalam bahan pangan, mineral terdiri dari 3 bentuk yaitu:
1.      Garam organic. Ex: garam asam malat, oksalat, asetat, pektat.
2.      Garam anorganik. Ex: garam fosfat, karbonat, sulfat dan nitrit.
3.      Senyawa kompleks yang bersifat organis.
Metode penentuan kadar abu disebut juga dengan metode pengabuan. Metode pengabuan terdiri dari 3 macam yaitu:
1.      Pengabuan kering ( prinsip gravimetric).
2.      Pengabuan basah.
3.      Pengabuan plasma suhu rendah.
Metode pengabuan dipilih berdasarkan pada:
1.      Tujuan analisis
2.      Jenis makanan yang dianalisis.
3.      Peralatan yang tersedia.
Pada praktikum kali ini, akan dilakukan penentuan kadar abu dengan metode pengabuan kering. Sedangkan sampe yang akan digunakan adalah kismis, abon dan salak. Metode pengabuan kering adalah metode pengabuan dengan menggunakan tanur ( 500 0C – 600 0C) selama 24 jam. Pada metode pengabuan kering, air dan bahan volatile lain diuapkan kemudian zat- zat organic dibakar hingga menghasilkan CO2, H2O dan N2.
Kelemahan menggunakan metode pengabuan kering diantaranya adalah:
1.      Memerlukan waktu lama.
2.      Biaya listrik yang lebih tinggi untuk memanaskan tanur.
3.      Kehilangan mineral yang dapat menguap pada suhu tinggi.
Sedangkan keuntungan dari metode pengabuan kering adalah sebagai berikut:
1.      Aman.
2.      Hanya membutuhkan reagen dalam jumlah sedikit.
3.      Beberapa sampel dapat dianalisis secara bersamaan.
4.      Tidak memerlukan tenaga kerja yang intensif.
5.      Abu yang dihasilkan dapat dianalisis untuk penentuan kadar mineral.
Langkah pertama yang harus dilakukan adalah menimbang cawan porselen terlebih dahulu. Kemudian cawan porselen dipanaskan selama 30 menit lalu dilanjutkan dengan pendinginan pada desikator selama 30 menit. Setelah cawan didinginkan, timbang kembali cawan lalu ditambahkan dengan sampel sebanyak 1 gram. Setelah ditimbang, cawan yang sudah diisi dengan sampel dipijarkan didalam tanur pada suhu 600 0C selama 2 ½ jam hingga sampelnya berwarna putih. Setelah dipijarkan, sampel dan cawan didinginkan didalam desikator selama 30 menit lalu ditimbang kembali.

Sampel
Ws
Wc
( Wc + Ws )1
Abon
1,0042 gram
33,4123 gram
33,4492 gram
Salak
1,0058 gram
20,8089 gram
20,8163 gram
Kismis
1,0429 gram
22,4953 gram
22,5121 gram

Kadar abu dapat ditentukan dengan menggunakan persamaan sebagai berikut:
% Kadar Abu =
Dengan menggunakan persamaan tersebut, maka dapat didapatkan kadar abunya sebagai berikut:
Sampel
% Kadar Abu
Abon
3,67 %
Salak
0,735 %
Kismis
16,1 %

Berdasarkan data diatas, didapatkan bahwa kadar abu pada salak paling rendah apabila dibandingkan dengan kedua sampel yang lain. Pada umumnya kadar abu pada bahan pangan tidak melebihi dari 5 %. Kadar abu yang melebihi dari 5 % biasanya terdapat pada bahan pangan olahan. Kemungkinan penyebab rendahnya kadar abu pada salak adalah bahan salak mengandung kadar air yang lebih banyak dibandingkan dengan kismis maupun abon. Sehingga dibutuhkan waktu yang lebih lama untuk menguapkan air dan bahan volatile sepenuhnya.
Apabila proses dilanjutkan ketahap penentuan kadar mineral, kemungkinan kadar mineral akan berkurang. Hal ini disebabkan karena menguapnya beberapa mineral pada suhu tinggi seperti Cu, Fe, Pb, Hg, Ni dan Zn.


VI. Kesimpulan
Berdasarkan praktikum yang sudah  dilakukan, maka dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut:
1.      Metode pengabuan kering melibatkan pemijaran pada tanur. Suhu tanur yang digunakan adalah 600 0C.
2.      Penentuan kadar abu juga dapat digunakan dalam penentuan kadar mineral.
3.      Abu adalah zat anorganik sisa pembakaran dari senyawa organic.
4.      Salah satu kelemahan metode pengabuan kering yang mempengaruhi penentuan kadar mineral adalah hilangnya beberapa mineral akibat suhu tinggi.
5.      Dari sampel kismis, salak dan abon didapatkan bahwa kadar abu salak paling kecil. Hal ini dikarenakan kandungan air salak yang lebih banyak sehingga waktu yang dibutuhkan untuk menguapkannya lebih lama.
6.      Kadar abu pada salak adalah 0,735 %, kismis 16,1 % dan abon 3,67 %.



DAFTAR PUSTAKA
Apriyantono, Anton., dkk 1988. Analisis Pangan. PAU Pangan dan Gizi IPB, Bogor.
Herdas. 2008.Pengujian Kadar Abu. Available at http ://bloginvitro.blogspot. com/2011/02/pengujian-kadar-abu.html. (diakses tanggal 27 Februari 2011)
Rizal Syarief dan Hariyadi Halid. 1992. Teknologi Penyimpanan Pangan. Penerbit Arcan, Jakarta.
Sudarmadji,S. 1989. Analisa Bahan Makanan dan Pertanian. PAU Pangan dan Gizi UGM, Yogyakarta.
Winarno, F.G. 1979. Kimia pangan dan gizi. Penerbit PT. Gramedia,  Jakarta.

No comments: