Pages


11.19.2011

laporan praktikum perubahan karakteristik pada ikan

V. HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN Ikan merupakan salah satu bahan pangan yang banyak dikonsumsi karena harganya yang murah dan kemudahannya untuk didapat. Di Negara besar seperti Taiwan dan Jepang, ikan dipercaya memberikan efek awet muda. Tabel 1. Komposisi Ikan Segar per 100 Gram Bahan Kandungan Air 76,00 % Protein 17,00 % Lemak 4,50 % Mineral dan Vitamin 2,52- 4,50 % Di Indonesia, ikan merupakan salah satu komoditi ekspor yang merupakan sumber devisa bagi negara. Namun, ikan juga tergolong kedalam bahan pangan mudah rusak atau penurunan mutu yang sangat cepat apabila tidak ditangani dengan baik. Kerusakan atau kebusukan pada ikan dapat disebabkan oleh tiga system yang bekerja pada ikan tersebut yaitu enzim dari ikan itu sendiri, system enzim dari mikrobiologi serta ketengikan. Hal tersebut disebabkan adanya hasil penguraian atau dekomposisi ( terutama ammonia) senyawa belerang dan bahan kimia hasil penguraian asam- asam amino yang disebut dengan amina. Oleh karenanya digunakan beberapa perlakuan pengawetan seperti penggaraman, pengeringan, pengasapan serta penyimpanan pada suhu rendah. Terjadi tiga tahapan setelah ikan mengalami kematian yaitu: Pre- rigor mortis. Pre- rigor mortis yaitu suatu tahapan yang berlangsung saat ikan mulai mengalami kematian hingga ikan tersebut sudah tidak berkontraksi ( mati). Pada tahapan ini, tekstur ikan menjadi lembut namun sedikit kenyal. Pada tahapan ini, terjadi penurunan ATP dan keratin fosfat. Pada tahap ini pula, glikogen diubah menjadi asam laktat yang disebabkan ketidakberadaan oksigen. Rigor mortis. Fase rigor mortis adalah fase perubahan daging ikan menjadi kaku yang mana pada umumnya terjadi 1-7 jam setelah ikan mengalami kematian atau 3- 120 jam setelah ikan mengalami proses pembekuan. Pasca rigor. Fase pasca rigor adalah fase saat terjadi hidrolisis keratin dan fosfat sehingga ATP dirubah menjadi ADP dan fosfat organic. ADP ikan akan terurai menjadi ribose, fosfat ammonia dan hiposantin sehingga pH naik menjadi 6,2- 6,6. Hiposanktin yang berlebihan dapat mengakibatkan kerusakan pada ikan. Gambar 1. Skema Tahapan Perubahan Ikan Setelah Kematian ( Sumber : Dilek, 2009 ) Untuk menguji kebenaran data tersebut, maka dilakukan praktikum mengenai perubahan fisik, kimia dan fungsional pasca mortem daging yang meliputi pengukuran pH, pengukuran suhu, pengukuran holding capacity dengan metode sentrifus dan pengamatan kekerasan daging secara subyektif. Pada praktikum kali ini, sampel yang digunakan adalah ikan. Alasan digunakannya ikan adalah agar pengujian dilakukan saat sampel masih berada dalam keadaan segar. Pengukuran pH dan Suhu Kondisi pH pada daging akan berpengaruh pada struktur, pengembangan ( swelling ) dan daya larut protein. Kondisi protein tersebut akan berpengaruh terhadap daya ikat ( Water Holding Capacity ) dan juiciness ( kemampuan untuk menghasilkan cairan ), daya emulsi, kemampuan membentuk gel, kekerasan, warna dan umur simpan. Prosedur pengukuran pH yang harus dilakukan adalah memasukkan sebanyak 5 gram sampel kedalam beaker glass kemudian ditambahkan dengan 5 ml air destilata lalu campur hingga larut. Baca pH dengan menggunakan pH meter pada menit ke- 15, 30, 45 dan menit ke- 60 selama 1 jam. Sedangkan prosedur pengukuran suhu, hal yang harus dilakukan adalah mengukur suhu sampel dengan menggunakan thermometer pada menit ke- 15, 30, 45 dan 60. Setelah melakukan prosedur diatas, didapatkan hasil sebagai berikut: Table 2. Hasil Praktikum Pengukuran pH dan Suhu t (menit) pH Suhu 15 6,83 23C 30 6,61 23C 45 6,60 23C 60 6,78 22C Berdasarkan hasil praktikum diatas,, didapatkan bahwa pH pada sampel menurun namun tidak konstan. Pada praktikum ini, sampel sudah memasuki fase rigor mortis. Pada fase ini, protein miofibrilar berkontraksi membentuk aktomiosin. Jarak antara sarkomer memendek, jumlah molekul bermuatan menurun, jarak antara protein mengecil sehingga daya ikat air terbatas. Menurut literature, fase rigor mortis pada umumnya memiliki pH lebih dari 5,8 dan pH akhir yang baik adalah 5,6. Daging dengan pH akhir tinggi akan berwarna gelap dengan daya ikat air baik. Namun, pH yang tinggi akan menyebabkan daging sangat mudah rusak oleh mikroba. Pada umumnya, ikan yang telah mati namun belum diberi perlakuan pengawetan akan mengalami penurunan pH. Namun pada menit ke 60, didapatkan pH lebih meningkat dibandingkan menit sebelumnya. Pada menit ke- 60 pH yang diperoleh adalah 6,78 sedangkan pada menit ke- 45 pH yang diperoleh adalah 6,60. Meningkatnya pH pada menit ke 60 berkaitan dengan menurunnya suhu pada menit yang sama. Menurut literature, suhu tinggi dapat mempercepat penurunan pH daging pasca mortem dan menurunkan kapasitas mengikat air karena meningkatnya denaturasi protein daging dan meningkatnya perpindahan air ke ruang ekstraseluler ( Lawrie, 1996 ). Sehingga dapat dikaitkan bahwa menurunnya suhu ikan dapat menyebabkan peningkatan pada pH daging ikan. Selain suhu, faktor lain yang mempengaruhi penurunan pH adalah interaksi daging ikan dengan logam serta jumlah praktikan yang berada dalam laboratorium. pH dan suhu daging ikan dapat mempengaruhi sifat fisik dari ikan tersebut. Perubahan pH dapat menyebabkan sebagian protein terdenaturasi dan perubahan muatan protein. Perubahan muatan protein akan mengubah jarak antara serat- serat daging sehingga mempengaruhi kemampuannya dalam menyerap dan memantulkan cahaya dimana hal tersebut akan mempengaruhi penampakan ( warna ) daging secara visual. pH yang semakin menurun menyebabkan warna daging memucat. Warna pucat tersebut disebabkan oleh karena banyaknya air bebas yang berada diluar serabut daging. Kandungan air ekstraseluler yang tinggi tersebut dapat menyebabkan kemampuannya untuk memantulkan cahaya akan meningkat dan penyerapan cahaya menurun sehingga intensitas warna akan menurun. Pengukuran Water Holding Capacity Water Holding Capacity ( WHC ) atau daya ikat air adalah kemampuan daging untuk mempertahankan kandungan air bebasanya pada saat diberikan tekanan dari luar seperti pemanasan, penggilingan atau pengepresan. WHC mempengaruhi beberapa sifat fisik dari daging yaitu warna, tekstur, kekenyalan, juiceness, dan kekerasannya. Kapasitas mengikat air oleh jaringan otot akan berdampak pada pengekerutan daging ikan selama penyimpanan. ( Forrest, 1975). Daging ikan dengan kapasitas mengikat air yang rendah dapat menyebabkan banyaknya cairan yang hilang, sehingga selama pemasakan akan terjadi kehilangan berat yang besar pula. Kehilangan berat merupakan salah satu hal yang akan merugikan konsumen serta produsen. Pada umumnya, water holding capacity akan dipengaruhi oleh pH. Penurunan pH otot daging yang semakin cepat akan mengakibatkan kemampuan daging untuk mengikat air semakin rendah. Hal tersebut disebabkan oleh meningkatnya kontraksi aktomiosin yang terbentuk sehingga cairan dalam daging akan keluar. Apabila melihat hubungan antara suhu dengan pH pada praktikum sebelumnya, didapatkan pernyataan bahwa suhu yang tinggi dapat mempercepat penurunan pH otot daging pasca mortem dan menurunkan kapasitas mengikat air ( water holding capacity ) karena meningkatnya denaturasi protein otot dan meningkatnya perpindahan air ke ruang ekstraseluler ( Lawrie, 1996). Untuk membuktikan teori tersebut, dilakukan praktikum mengenai water holding capacity dengan metode sentrifus. Langkah pertama yang harus dilakukan adalah memasukkan 10 gram sampel kedalam tabung sentrifus. Kemudian ditambahkan 10 ml akuades, kocok lalu diinkubasi selama 24 jam pada suhu 00 C. sentrifus sampel selama 20 menit dengan kecepatan 300 rpm. Saring kemudian ukur volume cairan yang dihasilkan. Ukur WHC pada menit ke- 30 dan 60 dengan menggunakan persamaan sebagai berikut: WHC = (V akhir – V awal x 100%)/Wikan Setelah melakukan prosedur tersebut, didapatkan hasil sebagai berikut: Table 3. Hasil Praktikum Pengukuran Water Holding Capacity t (menit) V awal (ml) V akhir (ml) W ikan (gram) WHC (%) 30 10 ml 12 ml 10,0073 19,985 60 10 ml 12 ml 10,0101 19,979 Menurut literature, semakin lama suatu daging disimpan pada suhu ruang maka kemampuannya dalam mengikat air juga akan menurun. Hal tersebut disebabkan oleh pengaruh penurunan pH otot dari jumlah asam laktat yang terakumulai dari proses glikolisis. Apabila membandingkan literature dengan hasil praktikum didapatkan kesesuaian yang tepat. Pada data diatas, disimpulkan bahwa semakin lama daging disimpan maka kemampuannya dalam mengikat air akan semakin menurun. Hal tersebut dapat dilihat pada persentase WHC yang semakin merendah. Dapat disimpulkan pula, sampel daging ikan mengalami peningkatan suhu pada menit ke-60. Pengujian Karakteristik Daging Ikan Karakteristik pada ikan sangat berpengaruh terhadap kulitas, umur simpan dan harga jualnya. Ikan yang berkualitas adalah ikan yang masih berada dalam keadaan segar atau baru dipanen kurang dari 24 jam. Terdapat beberapa karakteristik yang berbeda antara ikan segar dengan ikan busuk. Ikan yang masih segar akan memberikan cirri- ciri sebagai berikut: Daging kenyal. Mata jernih dan menonjol. Sisik kuat dan mengkilat. Sirip kuat. Warna keseluruhan ( termasuk kulit ) cemerlang. Insang berwarna merah. Dinding perut kuat. Bau ikan segar. Sedangkan ikan yang sudah busuk akan memberikan ciri- ciri sebagai berikut: Mata suram dan tenggelam. Sisik suram dan mudah dilepas. Warna kulit suram dengan lendir tebal. Insang berwarna kelabu dengan lendir tebal. Dinding perut lembek. Warna keseluruhan suram dan berbau busuk. Untuk mengetahui lamanya karakteristik kesegaran ikan terhadap waktu setelah kematian dilakukan praktikum pengujian karakteristik pada ikan. Indicator yang akan diuji adalah kekerasan, lendir, aroma dan bola matanya. Berikut adalah hasil praktikum pengujian karakteristik ikan terhadap berbagai waktu: Table 4. Hasil Praktikum Pengujian Karakteristik Ikan t (menit) Kekerasan Lendir Aroma Bola mata 0 + - Fresh ikan Bening 30 ++ + Amis ++ Bening - 60 +++ +++ Amis +++ Bening + Menurut literature, semakin lama daging ikan disimpan maka teksturnya akan semakin melunak. Hal tersebut disebabkan oleh sarkomer daging ikan yang memanjang. Apabila melihat data diatas, didapatkan bahwa pada menit ke-60, kekerasan ikan semakin meningkat. Hal tesebut mungkin disebabkan oleh ikan yang mulai memasuki fase rigor mortis. Fase rigor mortis akan berlangsung 1- 7 jam setelah ikan mengalami kematian. Fase rigor mortis ditandai dengan mengejangnya tubuh ikan sehingga kekerasannya pun semakin meningkat. Menurut data diatas, semakin lama daging ikan disimpan maka lendir yang dihasilkan pun akan semakin banyak. Hal tersebut sangat berkaitan dengan water holding capacity dan penurunan suhu serta pH. Pada menit ke-60, suhu tubuh ikan kemungkinan mengalami penurunan yang akan diikuti oleh peningkatan pH. Peningkatan pH otot daging yang semakin cepat akan mengakibatkan kemampuan daging untuk mengikat air semakin tinggi sehingga kapasitas mengikat air ( water holding capacity ) semakin tinggi karena menurunnya denaturasi protein otot dan menurunnya perpindahan air ke ruang ekstraseluler ( Lawrie, 1996) dan menimbulkan cairan mengental (juiceness ). Semakin lama daging ikan disimpan, maka aromanya pun akan semakin amis. Apabila tidak dilakukan proses pengawetan, maka aroamnya akan menjadi tidak sedap. Hal tersebut disebabkan adanya hasil penguraian atau dekomposisi ( terutama ammonia) senyawa belerang dan bahan kimia hasil penguraian asam- asam amino yang disebut dengan amina. Menurut data diatas, didapatkan bahwa kebeningan mata ikan mengalami peningkatan pada menit ke- 60. Padahal seharunya mata ikan mengalami penurunan kebeningan pada mata. Hal tersebut tidak sesuai dengan pernyataan dari literature. Hal tersebut kemungkinan merupakan kesalahan praktikan dalam menentukan taraf kebeningan mata pada ikan. VI. KESIMPULAN Berdasarkan hasil praktikum yang sudah dilakukan maka dapat disimpulkan bahwa penurunan suhu akan berkaitan dengan peningkatan pH dan peningkatan kemampuan mengikat air. Semakin lama waktu penyimpanan daging ikan pada suhu ruang, maka suhu daging akan mengalami penurunan suhu. Suhu yang menurun, akan berdampak pada peningkatan pH. Peningkatan pH dapat menyebabkan kemampuan mengikat air semakin meningkat lalu membentuk lendir yang beraroma tidak sedap.   DAFTAR PUSTAKA Adawyah, R. 2007. Pengolahan dan Pengawetan Ikan. Bumi Aksara: Jakarta. Dilek,B. 2009. Biochemical Changes in Meat and Fish. Available at: http://web.itu.edu.tr (diakses pada tanggal 18 September 2011 ) Moeljanto. 1982. Penanganan Ikan Segar. Swadaya: Jakarta Murachman. 2006. Fish Handling. Universitas Brawijaya: Malang. Murdjiharto. Tj. 2005. Biokimia Nutrisi Protein Ikan. Universitas Brawijaya. Malang. Sasmito, Bambang Budi. 2005. Dasar- dasar Pengawtean Bahan Pangan. Universitas Brawijaya: Malang.

No comments: